Minggu, 01 Mei 2016

Membedah Khilafah


Raudhatulmaya.blogspot.com-Di abad ke 21 ini, telah banyak digagas dan di canangkan tentang program-program yang berkaitan dengan nasionalisme dan bela negara. Hal ini bukan tanpa sebab, pasalnya di zaman yang modern ini banyak pihak menilai rasa kecintaan terhadap NKRI mulai menyurut bahkan hampir tidak ada. Selain hilangnya nasionalisme dan cinta tanah air, hal lain yang menyebabkan runtuhnya bahkan hilangnya rasa nasionalisme dan cinta NKRI adalah adanya serangan-serangan Ideologi yang mengancam Ideologi bangsa kita sendiri yaitu Pancasila.

Salah satu Ideologi yang kini mulai menebar ancaman secara terbuka kepada Pancasila adalah Khilafah. Khilafah sendiri banyak dipahami masyarakat awam sebagai sebuah ideologi dan bentuk pemerintahan yang bernapaskan Islam. Hal ini sangat miris bila kita ketahui akan hal ini. Pasalnya bila kita melihat kronologi pembentukan Negara kita, sungguh para pahlawan Negeri ini memperjuangkan dan berkorban demi kemerdekaan Negeri ini tanpa memandang "bulu" bahkan menjunjung tinggi kebersamaan, kekeluargaan, dan pluralisme yang ada. Sebagai contoh yang nyata adalah dalam perumusuan Ideologi kita yaitu Pancasila, di mana pada saat itu Sila pertama di ubah bunyinya untuk menciptakan kemaslahatan yang ada tanpa mengurangi nilai dan unsur-unsur yang di kandungnya.

Dari pada itu menurut tulisan Kuswara dalam kompasiana.com (20/09/13) banyak sekali kekurangan yang dimiliki sistem khilafah antara lain:

Pertama, kedaulatan rakyat. Sistem khilafah menempatkan Tuhan sebagai pusat segala kegiatan kemasyarakatan dan kenegaraan. Tuhan, sebagai zat yang maha tinggi diangggap tidak mungkin berbuat suatu kesalahan layaknya manusia. Namun di sisi lain, pemerintah kerap menjadikan Tuhan sebagai alat legitimasi atas kebijakannya, yang bisa jadi kebijakan tersebut menyengsarakan rakyat banyak.

 Kedua, hak-hak minoritas. Sistem pemerintahan ala khilafah cenderung kurang ramah terhadap minoritas, terutama minoritas terkait agama. Bagaimana hak-hak nonmuslim dalam dalam kepemimpinan, hak dipilih dan memilih, hak dalam pekerjaan (militer atau hakim, misalnya), dalam system khilafah tidak sembarang nonmuslim bisa leluasa mengaksesnya. Termasuk pula pada sekte-sekte Islam yang dianggap sesat, seperti syiah, ahmadiyah, dan juga kepercayaan local. 

Ketiga, jaminan hak asasi manusia. Seperti tergambar dalam rancangan undang-undang negara khilafah, kesetaraan hak antar warga negara dibedakan berdasarkan gender, keyakinan, dan bahkan orientasi seksual. Wanita, nonmuslim, atau kaum LGBT menjadi warga negara kelas dua. Mereka tidak bisa menjadi walikota/bupati, gubernur, apalagi khilafah.

 Keempat, pemilu yang bebas. Mungkin saja dalam system khilafah diselenggarakan pemilu, tapi bisakah ia menerima partai-partai berbasis liberal, sekuler, sosialis, atau bahkan komunis? Kemungkinan tidak. Inilah masalahnya. Pemilu dalam system khilafah hanya dijadikan bemper seolah-olah system ini mengakomodasi hak-hak politik masyarakat, padahal sejatinya tidak. 

Kelima, persamaan di depan hukum. Lagi-lagi, kelompok minoritas dan perempuan mendapatkan posisi yang tidak setara. Bisa jadi hal ini berasal dari beberapa hokum Islam yang sering ditasirkan secara tektual. Soal kesaksian perempuan yang berbeda dari laki-laki, soal hak waris yang berbeda, soal hak perempuan memilih pasangan, soal poligami, dan lain sebagainya. Bagaimana pula sikap pemerintahan terhadap mualaf dan murtadin. Bisa jadi akan diperlakukan secara berbeda.

 Keenam, pembatasan pemerintahan. Secara resmi tidak ada pembatasan masa pemerintahan dalam system khilafah. Khalifah biasanya dijabat seumur hidup. Begitu yang dicontohkan di masa lalu. Mengapa harus dibatasi? Ini untuk menjadikan negara tidak terpaku pada sosok, tapi pada system bernegara itu sendiri. Jika khalifahnya zhalim, maka secara hukum ia tetap tidak bisa diganti di tengah perjalanan. Penentang khalifah akan dianggap sebagai bughot atau minimal disebut khawariz. 

Ketujuh, pola kepemimpinan kolektif. Dalam khilafah, system kepemimpinan adalah tunggal, yaitu di tangan khilafah. Kepemimpinan tunggal sangat berbahaya, karena tidak ada check & balance. Dalam system khilafah, kekuasaan hanya ada di tangan khalifah seorang, ia adalah eksekutif, legislative, sekaligus juga yudikatif. Padahal, pepatah mengatakan, "Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Great men are almost always bad men."—Lord Acton.

 Kedelapan, penghargaan pada kebhinekaan budaya. Budaya nusantara yang beragam saat ini menjadi perekat dan pemersatu bangsa. Dalam system khilafah, budaya yang ‘dianggap’ tidak sesuai syariat akan dimatikan. Tari jaipong, topeng, kecak, dan lain-lain, bisa jadi masuk dalam daftar seni budaya local yang akan dilarang. Selain itu, kebiasaan muslim tradisional bisa jadi pula akan terancam, seperti: ziarah kubur, tahlilan, atau juga muludan, dan juga praktik-praktik sufi. Bisa jadi hanya akan ada satu sekte Islam yang akan diakui, dan selain sekte tersebut semuanya akan diberangus.

Dari pada itu, dua organisasi islam terbesar di Negeri ini yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah pun juga menyatakan sikapnya terhadap serangan Ideologi Khilafah ini. Pernyataan sikapnya pun sama yaitu dengan tegas "MENOLAK" akan sistem khilafah ini. Hal ini bukan tanpa sebab, pasalnya kedua organisasi besar ini juga ikut serta merasakan dan memperjuangkan berdirinya Negeri ini, jadi kedua organisasi ini tahu betul akan berbagai nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila.

Selain itu, bila kita kaji lebih jauh tidak ada satupun Sila dalam Pancasila yang bertentangan dengan Nilai-nilai agama Islam. Jadi, dapat di simpulkan bahwasannya khilafah sangat tidak cocok untuk menggantikan Ideologi bangsa kita yaitu Pancasila.